Wednesday, May 26, 2010

Pernikahan Itu Seperti Mobil : PERLU OLI DAN CEK MESIN




Saat Rachel Maryam menggugat cerai Ebes, suaminya, spekulasi dan pandangan sinis pun berkembang. Ada yang bilang, ‘Habis manis sepah dibuang. Rachel yang model iklan dan bintang film itu kan tahu dulu menikahi mahasiswa yang belum bekerja.’ Ada yang menduga Rachel punya pria idaman lain. Sesempit itukah pandangan di balik keputusan sulit yang sungguh berat - yang namanya gugat cerai?

‘Kita adalah makhluk manusia yang berevolusi, dan ketika kita tumbuh, frekuensi kita berubah. Berakhirnya hubungan antara dua orang adalah akibat dari dua orang yang tidak lagi berada dalam frekuensi yang sama. Ketika frekuensi orang-orang tidak lagi saling cocok, hukum tarik-menarik otomatis merespons dengan memisahkan mereka. Perubahan frekuensi adalah pertumbuhan, pertumbuhan adalah hidup, dan hidup itu baik.’ (Rhonda Byrne dalam The Secret, Renungan Harian hal. 316)

SAMPAI TITIK DARAH TERAKHIR
Seringkali kita mendengar, ‘Pantas saja suaminya selingkuh, dia nggak pintar dandan sih, dia nggak pintar memasak sih, dia nggak bisa melayani sih.'

Atau ketika seorang istri curhat betapa sedih ia karena suaminya tidak berlaku layaknya imam yang spiritual dalam rumah tangganya, si istri pun mendapat nasihat: ‘Adalah tugas istri mendidik suami.’

Lho kok, semua dibebankan pada istri? Lho, kok istri yang harus aktif? Lho kok, istri yang harus ambil inisiatif?

Memang sih, tidak salah dengan semua itu. Semua benar. Tapi, bagaimana kalau perubahan tak kunjung datang dari pasangan? Butuh berapa banyak amunisi kesabaran? Sampai kapan istri harus melakukan kompromi-kompromi?

Belum lagi pendapat yang mengatakan, ‘Perempuan hebat adalah yang menikah sekali seumur hidupnya dan bisa mendidik anak-anaknya hingga sukses.’

Seolah perempuan tak punya pilihan untuk mengoreksi keputusannya yang salah dalam memilih pasangan hidup, kecuali mempertahankan pernikahannya sampai mati, sampai titik darah penghabisan.

MENANGIS DALAM DIAM
Gugat cerai istri ke suami cenderung meningkat dari waktu ke waktu.

Namun masih banyak istri bertahan dalam pernikahan yang secara kualitas
tidak sehat. Dengan berbagai alasan: demi anak, kurangnya keberanian, status sosial supaya terlihat baik di mata orang lain, takut pada predikat janda dan cemooh orang, menunggu dan berharap suami berubah, masih bisa curhat pada teman dekat untuk mengurangi beban perasaan, dll.

Contoh ekstremnya, ada wanita yang melapor ke polisi setelah ia hampir mati.
Wanita itu membiarkan suaminya memukul berulang kali, karena masih berharap suaminya berubah.

Menderita secara fisik dan psikis, tidak berlebihan jika dikatakan tak terhitung banyaknya wanita yang menangis dalam diam. Suaranya tak didengarkan, pendapatnya tak dihargai. Semua karena visi yang mengakar kuat bahwa istri harus ikut suami, harus patuh pada suami, harus berbakti pada suami.

Ketika wanita menjadi kritis, bisa menilai dan mengevaluasi, punya peluang untuk mengejar kebahagiaannya, sampai pada satu titik berani mengambil keputusan menggugat cerai, pandangan sinis pun masih sering terdengar, 'Huh! Belagu, mentang-mentang, merasa sudah mampu, habis manis sepah dibuang.'

Tidak adakah yang berempati pada wanita yang berani menghentikan kebuntuan pernikahannya melalui gugat cerai?

KUALITAS SUAMI JUGA HARUS TUMBUH
Berkaca pada kasus Rachel Maryam, Mira D Amir, Psi dari Lembaga Psikologi Terapan UI mengatakan, “Rachel, bukannya saya tidak mau tahu. Saya coba berempati. Buat Rachel itu bukan mudah, bukan happy. Itu berat sekali, karena dulunya menikah atas dasar cinta yang luar biasa. Ebes menangis, yang disebut pria yang terbuang. Rachel lebih menangis lagi. Membaca beritanya pun saya tidak tega.”

Banyaknya pria yang terbuang, kata lain dari fenomena maraknya gugat cerai istri pada suami, diartikan Mira sebagai isu wanita yang berpenghasilan lebih besar, jabatan lebih tinggi dari suami, dan yang semacam itu. Bagaimana menyikapinya?

“Adalah fakta bahwa penghasilan, jabatan atau pekerjaan lebih tinggi, bukan satu-satunya faktor penyebab gugat cerai. Karena wanita itu sebenarnya secara psikologis memiliki dorongan untuk membentuk hubungan yang lebih bermakna dan lebih tinggi dibanding pria,” ujar Mira.

Sama seperti pendapat bahwa istri harus terus mengembangkan kualitas dirinya agar mampu mengimbangi pertumbungan suami, Mira berpendapat, hal demikian juga berlaku sebaliknya.

JIKA SUAMI URING-URINGAN
Dalam kasus istri lebih berkembang, biasanya yang terjadi di pernikahan, suami tidak mampu mengejar istri.

“Tetapi yang biasa terjadi, bukannya suami lantas menyadari untuk mengisikan kualitasnya di aspek yang lain, justru suami membebani istri. Misalnya di faktor keuangan, istri baik-baik saja, di aspek lain bagaimana?” Mira mencontohkan.

Yang ia maksudkan, seberapa mampu dan mau, pasangan yang penghasilan, pendidikan, pergaulannya lebih rendah itu menjadikan diri sebagai suami yang suportif, suami yang menghargai usaha istri, suami yang selalu menyiapkan bahunya sebagai tempat istri menyandarkan kepalanya yang penuh masalah, suami yang pintar meredakan istri yang sedang digulung emosi?

Sebaliknya, “Kalau suami malah uring-uringan, merasa inferior, harus selalu diperhatikan, didahulukan, itu berat buat istri,” kata Mira.

“Jika Rachel tidak sanggup bertahan lalu menceraikan suami, itu tidak mengherankan. Bisa terjadi Rachel superior. Nah, bisa nggak ini menjadi pembelajaran bagi para suami?” tanya Mira.

“Suami dan istri itu setara dalam pernikahan. Memutuskan untuk menikah, perlu komitmen dua pihak. Ketika suami semena-mena, misalnya, biasanya pada istri yang tidak punya penghasilan. Kalau dijajaki keinginan istri yang diperlakukan seperti itu, kemungkinannya gugat cerai. Bisa mencengangkan hasilnya,” lanjut Mira.

BUKAN HANYA MIRANDA
Di ruang konseling, Mira mendapat banyak curahan hati.

Jika suami suportif, istri juga akan menjalani perannya sebagai pencari nafkah atau tulang punggung dengan senang hati. Fenomena istri berpenghasilan lebih besar, kata Mira, bukan hanya Deputi Gubernur Bank Indonesia, Miranda Gultom.

“Saya punya tukang urut langganan. Suaminya lebih muda, yang cari uang si istri, maka istri punya kekuatan menceraikan. Tetapi ternyata suaminya suportif menjalani rumah tangga, dia yang menyuapi anak-anak, mencuci piring. Mereka melakukan peran terbalik. Saya tidak melihat masalah di situ. Mereka saling menerima. Suami siapkan makan untuk istrinya. Istri menilai suaminya suportif,” cerita Mira.

“Si istri itu mengakui, 'Rezeki keluarga ini lebih besar kalau saya yang cari. Saya juga susah kalau suami nggak bantu urus anak.' Suaminya juga usaha cari uang, bekerja, tetapi kalau dihitung-hitung lebih besar penghasilan istri, sehari Rp 300 ribu. Suaminya setengah bulan Rp 300 ribu,” Mira mencontohkan.

KUCING DALAM KARUNG
Yang sering terjadi adalah beda persepsi, suami mendukung atau tidak mendukung. Seperti Ebes bilang menjaga anaknya ketika Rachel sibuk kampanye.

“Masalahnya bukan sekadar fisik, ‘Saya sudah di rumah kok, jaga anak, sudah buat ini ini ini’. Istri lebih melihat interaksi. Kita di luar tidak melihat interaksi mereka seperti apa. Kadang buat wanita, kekerasan dalam rumah tangga bisa bentuknya psikologis, seperti suami tidak mendukung, merendahkan, mematahkan, meremehkan, hal-hal yang membuat mereka jadi berbeda persepsi,” jelas Mira.

Sebelum menikah, pasangan memiliki segudang idealisme berupa konsep cinta bahagia. Namun ada guyonan yang menyebutkan bahwa menemukan pasangan hidup bagaikan membeli kucing dalam karung.

Maka Mira menasehati, sebelum menuju pernikahan, konsep sebaiknya dikonkretkan. Karena begitu dijalani, dunia yang konkret bisa berbeda persepsi.

Contoh, ibu mertua bilang, “Anak saya harus disediakan minum oleh istri setiap pagi.’ Anaknya bisa bilang, ‘Itu sekarang nggak penting, saya justru bahagia bisa menyediakannya untuk istri.’ Wah itu bisa jadi gunjingan di keluarga besar.

PERNIKAHAN, GERBANG KENYATAAN
Begitu menikah, setahun lolos, 5 tahun lolos, lakukan penyesuaian agar pasangan lebih nyaman secara psikologis.

Begitu ada harapan tinggi yang tidak tercapai, timbul kecewa. Makin besar celah komunikasi, makin besar kekecewaan. Manusia punya batas pertahanan diri. Contoh KDRT, perempuan lapor polisi setelah mau mati, karena ia mengharapkan suaminya berubah. Ternyata ia sudah sering dipukul.

Pada awalnya, di masa ‘Harman’ (hari-hari manis) suami-istri berada di gelombang yang sama. Kemudian mereka atau salah satunya tumbuh, lalu bisa jadi bergeser ke frekuensi berbeda.

Memasuki pernikahan sama dengan memasuki gerbang kenyataan.
Sebelum pernikahan, ‘Oke kita menikah, bahagia.’ Tantangannya kemudian, ‘Kita tinggal di mana, punya anak, imunisasi, makan, sekolahnya, dstnya.’ Banyak hal yang harus dijawab.

Ketika istri merasa suami tidak cukup menyokong, suami sering mematahkan semangat istri. Menurut Mira, inilah bibit-bibit dari gugat cerai.

HAK UNTUK MENGGUGAT
Media informasi semakin membuka mata perempuan.

“Mungkin selama ini dipendam sendiri, suami dirasani (dibicarakan) dengan teman-temannya. Setelah baca media informasi yang relevan dengan yang dirasanya, perempuan sadar ternyata ia memiliki kebutuhan untuk didengarkan, didukung.

Kemudian ia mengkomunikasikan ke suami, tetapi suami tidak berubah, istri nggak nyaman.

“Saya rasa nggak masalah, hak wanita untuk menggugat. Misalnya lagi, suami tidak mau diajak mandiri, tidak mau keluar dari rumah ibunya, itu bentuk ketidakmatangan, itu rentan untuk digugat cerai,” Mira menyebut beberapa contoh.

SEMUA BENAR-BENAR DIUJI
Banyak perempuan bersuami tidak suportif, pilih bertahan demi anak.

“Ini bertahan dalam kesengsaraan. Kalau ada pilihan lain, pasti akan cerai untuk menuntaskannya. Secara kualitas, pernikahan ini rendah hasilnya. Cukup banyak pernikahan yang rapuh, karena pernikahan itu sesuatu yang sulit. Maka agama mengatakan pernikahan itu ibadah. Itu tolok ukur yang nilainya besar, karena dalam pernikahan semua orang betul-betul diuji,” urai Mira.

Tentang pandangan adalah tugas istri mendidik suami, Mira balik bertanya, kenapa itu ditujukan pada perempuan? Karena pernikahan apik bukan hanya tugas berat perempuan.

“Suami menceraikan istri, nggak apa-apa, itu perspektif tradisional. Tapi itu berat buat kesetaraan gender, karena kita berkontribusi sama untuk pernikahan harmonis. Kalau nggak, ya pakai istilah lama: bertepuk sebelah tangan,” kata Mira.

“Yang perlu dilakukan wanita dalam posisi seperti Rachel, jika komitmen masih sama, selamatkan pernikahan, jalani konseling. Biasanya juga dilakukannya secara sengaja, bukan terpaksa. Kalau salah satu terpaksa ya sama saja. Kalau suami tidak mau, itu parah,” lanjut Mira.

JALAN YANG HAMBAR
Mengenai pandangan: perempuan hebat adalah yang menikah sekali seumur hidup, bisa mendidik anak-anaknya hingga sukses?

“Kembali lagi, apakah perempuan menganggap pendapat itu relevan? Makin banyak perempuan sekarang berpikir, 'Kalau begitu, mahal sekali kebahagiaan itu harus ditebus. Jika misalnya sudah tersakiti, mengalami KDRT verbal atau nonverbal, namun masih harus mempertahankan nilai itu,” jelas Mira.

Jika sudah tahu kualitas pernikahan rendah tapi tidak berani menggugat cerai?
“Pernikahan bisa berlanjut seperti hidup segan mati tak mau, apa boleh buat. Jalan ya jalan tetapi hambar, anyep,” kata Mira.

Perempuan yang seperti ini, “Kompensasinya bisa dapat dukungan dari teman, karena perempuan lebih ke kebutuhan afeksi (kasih sayang) yang tinggi, pergaulan, alhasil berteman secara suportif emosional,” kata Mira.

Pertemanan, bagi perempuan, bisa membantunya menjalani kehidupan secara signifikan untuk saling berbagi, mencari celah kompromi-kompromi, menyesuaikan lagi, pol-polan benar, apa lagi? Mau menggugat cerai, ketemunya jalan buntu. Miinta suami berubah, tidak dihiraukan,” lanjut Mira.

PEMBIARAN ITU TIDAK SEHAT
Ada satu bentuk, bukan teori, tapi pendekatan, ketika pernikahan tidak harmonis, pasangan tidak seperti yang kita mau.

“Maka kita sendiri yang mengubah persepsi, sikap, perilaku,” Mira memberikan jalan keluar.

Kalau visi sudah tidak satu, “Itu berat sekali, bisa berimbas pada anak dan lingkungan.”

HARUSKAH BERTAHAN SAMPAI MATI?

“Wah ya tidur punggung-punggungan, pisah kamar, bahkan pisah rumah,” sebut Mira. Pasangan yang hubungannya secara psikologis tidak sehat, berjalan seperti mesin, hanya memenuhi kewajiban semata.

Jika kesabaran sudah di ambang batas dan ingin menempuh gugat cerai, nasihat Mira, “Jangan tunggu sampai berlarut-larut.”

Pasangan yang akan menikah, disarankan melakukan konseling pranikah. Supaya masing-masing pihak tahu harapannya, juga seberapa besar mereka kenal
satu sama lain.

Ketika pernikahan sudah berjalan, jangan membiasakan membiarkan problem yang muncul.

“Pembiaran itu tidak sehat, itu cikal bakal gugat cerai. Pernikahan juga perlu dievaluasi. Seperti mobil, tidak mungkin dipakai terus, ada saatnya ganti oli dan cek mesin,” Mira senyum.




AYAT TERKAIT GUGAT CERAI

Menurut sejarah, di zaman Nabi Muhammad S.A.W, kaum pria sangat tidak menghargai perempuan. Oleh karena itu, Nabi Muhammad berusaha untuk mengangkat derajat kaum perempuan.

Setiap pasangan yang akan menikah, sang mempelai pria akan membacakan beberapa janji-janji yang tertulis di buku pernikahan. Jika janji-janji tersebut tidak dapat ditepati oleh suami, maka istri berhak melakukan gugatan cerai.
Secara agama dan hukum, istri memang hanya dapat mengajukan gugatan cerai namun tidak bisa menceraikan. Tetap saja yang berhak menalak adalah suami. Apabila suami menolak untuk menalak sang istri, baru Pengadilan Agama yang memutuskan.
Di dalam surat Al-Qur’an telah tercantum beberapa ayat yang berkaitan dengan derajat kaum perempuan antara lain :

Surat Al Baqarah

Ayat 223 :
“Perempuan-perempuan kamu (istri-istri kamu) adalah (seperti) ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu sebagaimana kamu kehendaki dan buatlah kebaikan untuk dirimu, bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu akan menghadap-Nya dan sampaikanlah berita gembira untuk orang-orang yang beriman”.

Ayat 224 :
“Dan janganlah kamu jadikan Allah dalam sumpahmu menjadi penghalang untuk berbuat kebajikan untuk bertaqwa dan mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Ayat 225 :
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang sia-sia, tetapi Dia akan menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”.

Ayat 227 :
“Dan jika mereka berketetapan hati hendak bercerai, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Ayat 228 :
“Perempuan-perempuan yang diceraikan hendaklah menunggu tiga kali quru’. Dan mereka tidak boleh menyembunyikan apa yang dijadikan Allah dalam rahimnya, kalau mereka benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami mereka lebih berhak merujuki mereka dalam masa iddah itu kalau mereka menghendaki perdamaian. Dan perempuan (istri) ada hak seimbang dengan hak laki-laki (suami) atas mereka secara patut, dan laki-laki mempunyai suatu derajat lebih tinggi dari perempuan. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Ayat 232 :
“Dan apabila kamu menceraikan istri, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu halangi mereka kawin lagi dengan (calon) suaminya apabila telah ada kerelaan di antara mereka dengan cara yang pantas”.

Surat Al Ahzaab

Ayat 35 :
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang taat, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut Allah, Allah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”.

Surat Ath Thalaaq

Ayat 1 :
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu (akan mendekati) iddahnya dan hitunglah iddah itu, dan bertaqwalah kepada Allah Tuhan kamu, jangan lah kamu mengeluarkan mereka dari rumahnya dan tidak diizinkan (pula) mereka keluar kecuali mereka berbuat perbuatan keji yang nyata. Itulah hukum-hukum Allah, dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat aniaya pada dirinya. Engkau tidak mengetahui, barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal (yang baru)”.

Ayat 2 :
“Maka apabila sampai masa iddahnya, hendaklah kamu menahannya dengan cara yang baik (merujukinya) atau melepaskannya dengan cara yang baik (menceraikannya) dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan jalan keluar baginya”.



*Ditulis oleh : Siti Afifiyah dalam Tabloid Wanita Indonesia edisi 1066 (31 Mei - 6 Juni 2010)

Kalau Istri Jatuh Cinta Lagi : DIA MENGAJARI AKU MENCINTAI SUAMIKU



Tidak terjadi hanya antara Krisdayanti dan Raul Lemos - fenomena wanita bersuami yang jatuh cinta lagi selalu menyimpan 1001 misteri. Bagaimana menyelamatkan pernikahan dan terutama anak-anak, dalam situasi seperti itu?

Shinta tersambung kembali dengan Doni -mantan pacarnya – di kala ia merasa hidupnya sangat kacau. Komunikasi dengan suami berantakan, berdua hidup seatap tetapi pemikiran dan pilihan-pilhan ditentukan sendiri-sendiri .
“Suamiku tak pernah mengajak bicara tentang masa depan rumah tangga kami, tak pernah membicarakan rencana jangka panjangnya,” keluh Shinta. Ia melihat suaminya tak punya visi.

"Kalaupun kami masih bersatu, hanya karena surat (nikah) dan anak," kata Shinta, putus asa.

Semangat hidupnya menyala lagi setelah Doni hadir dalam hidupnya. Doni adalah mantan pacarnya semasa sekolah yang dulu ia tinggalkan karena alasan yang tak ingin ia ceritakan.

"Tapi sebetulnya aku masih mencintainya. Hanya kepadanya aku merasakan jatuh cinta," cerita Shinta.

Perjalanan hidup yang membuat Shinta bertemu suaminya kini. Ia menerima lamaran suaminya kala itu karena mengira segalanya akan menjadi lebih mudah jika ia yang lebih dicintai. Tetapi kebiasaan suaminya ketika pacaran yang selalu menunjukkan perhatian dan sayang, menguap begitu saja setelah menikah.

Doni sendiri sudah beristri dan punya dua anak, tapi itu bukan masalah buat Shinta. Hatinya sudah senang manakala mengetahui ada yang mencintai, ada yang mendengarkan, memahami dan berbagi.

“Di awal-awal bertemu lagi itu, waduh perasaanku jumpalitan, persis ABG jatuh cinta,” Shinta tertawa.

“Tetapi akhirnya aku memilih realistis saja,” ujar Shinta. Ia meneguhkan niat awal
kedekatan mereka lagi itu sebatas saling menjaga dan juga saling menguatkan.
Menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Shinta mengaku tak berani bertemu tatap muka dengan Doni, dan Doni pun setuju. "Kami berbicara lewat sms dan telpon saja," kata Shinta.

Hingga suatu hari, putri bungsu Shinta, Catleya yang berusia 5 tahun menunjuk foto pernikahan orang tuanya di dinding.
"Cinta Mama itu hanya untuk Papa," celoteh Catleya. Lantas mata bolanya yang bening memandang lurus ke mata Shinta.

Deg! Shinta meraba-raba dalam hati, ia ingat terkadang menerima telpon Doni saat berada dekat Catleya. Diam-diam Shinta dihinggapi perasaan bersalah.
Doni pun pernah bercerita pada Shinta jika anak laki-lakinya yang berusia 4 tahun bertanya sms dari siapa yang membuat ayahnya itu tersenyum-senyum sendiri.
Tentu saja Doni bilang sms dari teman. Tapi, "Bohong terus jadinya, capek deh," Shinta menirukan Doni.

CHEMISTRY BATIN, CHEMISTRY BIOLOGIS
Menurut Shinta, Doni tak pernah berniat merusak pernikahannya, apalagi mengambil Shinta dari sisi suami dan anak-anaknya. Sebabnya?

"Aku takut pada karma anakmu," kata Doni ditirukan Shinta.

"Aku bersyukur, saat harus jatuh cinta lagi, aku jatuh cinta pada pria yang baik," kata Shinta, yakin.

"Dia mengajariku bagaimana mencintai suamiku. Dia mengajariku mencintai anak-anakku. Banyak hal baik kurasakan setelah ada dia. Aku tidak bisa apa-apa kalau ada yang menyebut kami ini berselingkuh, tapi aku lebih senang menyebutnya sebagai hubungan yang membaikkan. Aku percaya sekarang bahwa cinta yang sebenarnya, tidak mungkin menyakiti, cinta sejati tidak mungkin melukai hati siapa pun," tutur Shinta, dengan mata berkaca-kaca.

Shinta juga bilang, tak mudah baginya untuk sampai pada pemikirannya ini. Apalagi, jujur diakuinya, yang ia rasakan bukan hanya chemistry batin melainkan juga chemistry biologis.

"Kontrol yang paling efektif ya tidak usah bertemu. Kalau toh suatu hari bertemu, aku ingin memastikan semua akan baik-baik saja. Walaupun aku sangat ingin, tapi kalau sampai yang terlarang itu terjadi, aku tak akan sanggup menghormati diriku sendiri."

"Prinsip kami sama, kebahagiaan anak-anak itu prioritas utama, di atas kebahagiaan pribadi. Kami tidak ingin anak-anak kami sengsara nantinya," kata Shinta lagi.

Kini Shinta lebih bisa menerima suaminya apa adanya. Ia juga merasa semakin berserah diri kepada Tuhan.

"Aku tidak boleh egois. Sekarang aku lebih fokus pada kebaikan-kebaikan suamiku. Tentang hal-hal yang aku rasakan sebagai kekurangannya, mungkin kami harus bicarakan lagi lebih intensif. Aku juga harus introspeksi diri. Komitmen dan tanggung jawab lebih penting daripada cinta," kata Shinta.

Demi menghindari chemistry biologis pula Renata memutuskan meremove Andhika - mantan pacarnya semasa kuliah - dari daftar nama temannya di facebook. Komunikasinya dengan Andhika dirasakan Rena sangat menyenangkan. Tapi ia juga takut karena kian hari perasaannya kian mendalam.

Renata menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya. “Sakit sekali waktu harus putus dulu, terasa sampai sekarang,” Renata mengenang kisah cinta tragisnya.
Bukannya Renata tak bahagia bersama suami dan dua anaknya. Ia hanya masih terganggu oleh derita cintanya yang harus terpenggal dulu itu.
“Tetapi aku menghindari chemistry biologis demi kebaikan keluargaku, juga demi kebaikan keluarganya," kata Rena.

Lain lagi dengan Lila yang juga bertemu mantan pacar semasa kuliahnya di facebook. Waktu itu mereka putus karena Lila merasa sudah tidak cocok. Dan tetap saja Lila merasakan euforia menyenangkan saat mereka terhubung kembali.

Tak menginginkan hal-hal yang bisa jadi bumerang, Lila mengajak mantan pacarnya sepakat.

“Kalau misalnya ingin ketemu untuk makan siang atau apa, kami harus membawa pasangan masing-masing,” kata Lila dengan senyum manis.
Nah, ternyata tidak ada yang harus dikorbankan ya?



ANAK MEMBISU SERIBU BAHASA
Ayah atau Ibu yang berselingkuh, harap waspada jika anak tidak mau berbicara pada mereka dalam jangka waktu cukup lama.

Jangan dikira anak tidak menggunakan kecerdasannya yang sangat terbatas dalam menyikapi badai rumah tangga atau perang dingin ayah-ibunya.

Salma, 10 th, boleh dibilang sebagai satu dari kasus terkini anak yang tertekan gara-gara foto Jenniver Dunn mencium ayahnya, Sunan Kalijaga, dipasang di facebook. Seorang ahli anak mengatakan, yang seperti itu bisa mengakibatkan anak mengalami trauma psikosomatis mimisa.

Pada kasus Catleya - putri bungsu Shinta, anak-anak di usia 0-5 tahun biasanya belum memiliki pemahaman yang konkret. Mereka belum paham selingkuh itu apa, tapi ia bingung kok ada yang tak biasa dengan teman ibunya yang satu ini.

“Kalau anak usia sekolah, biasanya sudah bisa berpikir, ‘Kok ngomongnya pakai sayang-sayang, ini pasti suka nih,’ Begitu contohnya,” kata Irma Gustiana M.Psi, psikolog anak dan keluarga,

“Kalau hal itu terjadi, maka marah dan emosi adalah ekspresi yang pertama kali muncul dalam diri anak,” Irma menjelaskan.

Marahnya anak – menurut Irma - ada dua: diluapkan dalam bentuk perilaku atau dipendam saja.

“Jika dilampiaskan, maka perilaku yang muncul biasanya seperti bicara kasar, merusak benda-benda atau membanting sesuatu. Sebaliknya, anak-anak yang memendam, biasanya tidak mau berbicara pada kedua orang tuanya,” kata Irma.
Ia mencontohkan kasus seorang anak yang setahun tidak mau bicara dengan kedua orang tuanya.

“Kalaupun bicara, biasanya hanya melalui sms saja walau mereka serumah. Setelah digali, baru ketahuan bahwa Ibunya selingkuh. Dia pernah dua kali diajak, dikenalkan dengan Om siapa, dan menangkap sinyal-sinyal cinta yang tak dipahaminya sehingga sangat membuatnya risau itu,” cerita Irma.

Menyembuhkan luka hati anak yang sedalam itu?

“Anak harus diterapi. Kalau dia terus memendam, akibatnya lebih berbahaya,” kata Irma.


PASANGAN TIPE ANAK MAMA
Suami tanpa visi – itu yang dirasakan Shinta.

Boleh jadi, sebenarnya bukan tanpa visi. Mungkin saja suami Shinta tipe lelaki anak Mama yang terbiasa dikendalikan ibunya dalam segala hal. Maka di rumah tangganya sendiri ia juga menyerahkan saja semua hal pada inisiatif istri.

Ini dia tipe suami yang anak Mama.
1. Ia tidak suka tantangan, menghindar dari situasi yang sulit, tidak mau menghadapi konflik.
2. Cepat putus asa, selalu tergantung pada pihak lain misalnya orang tua untuk membantu menyelesaikan masalah.
3. Tidak suka berpikir dalam. Senangnya hanya pada hal-hal sederhana yang menyenangkan.
4. Biasanya agak temperamental, atau justru sangat sensitif karena terlalu peka. Kurang mampu menerima kritik atau saran. Egois karena hanya memandang masalah dari sisinya saja.
5. Kurang bertanggung jawab. Misalnya kurang mau terlibat dalam pengasuhan anak.
6. Selalu ingin diperhatikan dan dilayani, tetapi kurang memperhatikan kebutuhan pasangan.


ANTARA SELINGKUH, CINTA DAN EGO
Perselingkuhan terjadi karena banyak faktor - dan faktor ekonomi menempati urutan pertama.

“Istri yang selingkuh biasanya berkemampuan finansial lebih tinggi dari suaminya. Istri merasa suami mengandalkan dia, padahal sebetulnya dia hanya membantu suami. Yang seperti ini kadang membuat perempuan tidak bisa memposisikan diri. Ia merasa lebih kompeten dan lebih hebat, bukan hanya di luar
tapi juga ketika di rumah,” jelas Irma.

Meski juga menjadi salah satu penyebab selingkuh, namun faktor fisik biasanya menempati urutan terakhir.

“Pada kasus Shinta, suami kurang perhatian, mungkin sibuk. Apalagi kalau rentang usia cukup jauh, misalnya suami 50 istri 30 tahun. Dari usianya saja, istri masih ingin diperhatikan, disayang, ada kualitas waktu untuk kebersamaan,” kata Irma.
“Suami yang lebih banyak waktu di kantor, karier lebih mapan, biasanya akan memberi uang, tetapi istri kurang diperhatikan secara psikologis. Bisa saja istri akan mencari orang lain yang lebih bisa mengakomodir kebutuhannya akan kasih sayang.

JODOH DI TANGAN TUHAN
Setelah penyebab perselingkuhan diketahui, Irma mengajak mencari solusinya.
“Jika dianggap kurang memberi waktu atau sering ke luar kota, sampaikan bahwa Anda pun membutuhkan waktu bersama. Paling tidak, jangan pernah putus komunikasi,” saran Irma.

“Namun jika yang terjadi adalah kekerasan dalam rumah tangga, dan Anda rasa tidak mungkin lagi ada solusi lain, maka Anda berhak mengambil keputusan.”
Menikah, menurut Irma, adalah penyesuaian yang akan berlangsung seumur hidup.

"Kita saja yang satu keluarga beradik-kakak, berbeda-beda sikap dan perilakunya. Apalagi dengan pasangan yang berasal dari keluarga lain. Maka penyesuaian seumur hidup harus ada, sesuai komitmen yang dibangun sejak awal," kata Irma.

Terlepas dari itu, kita memang tak pernah tahu apa yang akan terjadi di tengah perjalanan suatu perkawinan.

“Apalagi kalau bicara agama, disebutkan bahwa jodoh ada di tangan Tuhan. Seperti Anang, mungkin jodohnya dengan KD hanya sampai di situ. Tergantung masing-masing individu, tiap orang berbeda dalam menghadapi masalah," kata Irma.

Wanita-wanita yang hatinya di persimpangan jalan, jika bertemu 'Mr Perfect (?) lajang, tidak terlalu berat karena tidak terbebani tanggung jawab anak. Nah, kalau bertemu ‘Mr Perfect (?)’ yang sudah menikah? Beban jadi berat karena sama-sama terikat perkawinan dan membawa anak.

"Tapi biasanya kalau bicara cinta, kebanyakan pelakunya jadi egois, tidak lagi memikirkan anak akan seperti apa. Tidak memikirkan bagaimana menyiapkan mental anak menjalani hari-hari yang timpang," sesal Irma.


BERPIKIR PENDEK ATAU PANJANG?
Perselingkuhan, seringan apa pun itu, tetap saja menempatkan seorang istri dalam suasana sangat cemas karena stres akibat perasaan yang tertekan.

Mencintai laki-laki yang sedang dianggapnya lebih baik dan lebih perhatian dibanding suaminya, apalagi jika ditambah secara biologis ada chemistry di antara mereka, sungguh tidak mudah.

“Sebagian orang mungkin tidak bisa menahan. Di sisi lain ia juga sadar bahwa perbuatannya salah. Tak heran bila ia tertekan dan stres menghadapi situasi ini.
Bagaimana menyikapi situasi seperti itu?

“Wanita yang pikirannya pendek, biasanya mengutamakan kenyamanan kondisinya. Kira-kira begini, ’Yang penting adalah nyamannya saya dulu, daripada tidak nyaman dengan situasi pernikahan yang tidak bisa dilanjutkan karena semakin banyak ketidakcocokan dan ada kebutuhan yang tidak terpenuhi. Nanti jika akhirnya saya memutuskan berpisah, saya akan bawa anak saya ke konselor atau psikolog,” Irma menggambarkan.

“Tapi wanita yang berpikiran jangka panjang akan memilih menyingkirkan egonya karena ia lebih memikirkan psikologis anaknya. Yang seperti ini biasanya memilih memperbaiki hubungan dengan suaminya, dan mencari jalan agar pernikahan tidak berakhir perceraian.”

JIKA CERAI SOLUSI TERAKHIR?
“Persiapkan mental mereka. Jangan menutup-nutupi, ajaklah anak-anak ngobrol bersama Anda dan pasangan, katakan pada mereka tentang apa yang terjadi. Tentu pembicaraan itu harus disesuaikan dengan usia anak-anak Anda. Sampaikan pada mereka, bahwa meski bercerai, Anda dan pasangan adalah tetap sebagai ibu dan bapaknya. Katakan juga bahwa itu bukanlah kesalahan mereka,” kata Irma.

Tentu anak-anak sulit menerima.
“Maka Anda berdua harus tetap mendampingi mereka. Bisa dengan terapi bermain, sampai proses cerai selesai dan anak-anak bisa nyaman dengan situasi tersebut. Setelah itu buatlah jadwal bertemu yang Anda berdua harus mematuhinya.”


*Ditulis oleh : Siti Afifiyah (Tabloid Wanita Indonesia edisi 1063, 17 Mei – 23 Mei 2010)